TITIK PUTIH -be continued



EPILOG

            Ratusan orang berhamburan membawa harta berharga mereka, para ibu yang menyelamatkan bayinya, para pria dewasa melindungi orang tua, anak-anak dan mereka yang terluka akibat puluhan bom dan peluru yang dijatuhkan oleh penjajah. Ya, begitulah keadaan Indonesia puluhan tahun yang lalu, penderitaan yang tiada hentinya sehingga Ibu Pertiwi menangis meratapi negeri kita.

            Saat dua ikon negeri kita membacakan proklamasi, mengumandangkan suaranya dengan lantang, menyampaikan bahwa negeri kita telah bebas dari penjajahan. Soekarno-Hatta dan para pahlawan yang tidak mampu kita tuliskan satu persatu berkat mereka negeri kita bebas dari jajahan bangsa lain, berkat mereka pula saat ini kita dapat menghirup udara dengan tenang, menggunakan berbagai fasilitas, dan tentu saja kita tidak lagi hidup di bawah tekanan bangsa lain.

            Namun, apakah saat ini negeri kita sudah benar-benar bebas dari jajahan? Apakah saat ini kita sudah benar-benar hidup tenang tanpa tekanan? Saya rasa, tidak. Negeri tercinta kita, NKRI begitu mereka menyebutnya. Dengan bangga kita jadikan negara ini dalam bentuk kesatuan republik. Namun, apakah negara ini benar-benar menerapkan sistem Republik? Apa makna Republik sesungguhnya?

            Gedung-gedung pencangkar langit berdiri dengan gagahnya, hotel berbintang lima menghiasi Ibu Kota, kerlap kerlip tempat hiburan yang mewah, pusat perbelanjaan yang megah, transportasi yang memadati jalan raya serta berbagai fasilitas yang saat ini menjadi kebanggan negeri kita. Ibu Pertiwi memang tidak bersedih lagi akibat jajahan bangsa lain, tetapi saat ini Ibu Pertiwi benar-benar tersiksa, air mata bukan lagi hal yang aneh baginya. Negeri-ku, negeri kita, negeri tercinta sudah menjadi negeri yang makmur, sudah mampu bernafas lega... namun, jauh di dalamnya, kita telah salah menerapkan sistem pemerintah yang sesungguhnya.
           
            Saat KKN menjadi makanan sehari-hari. Saat pejabat tinggi bersalah karena pencucian uang rakyat, bermilyaran uang telah dicurinya demi kepentingan pribadi, apa yang terjadi? Mereka tetap akan berdasi, jeruji besi bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka. Lalu bagaimana dengan kami, rakyat kecil yang mengharapkan janji para petinggi. Saat kami mencuri sepasang sandal jepit, apa yang akan terjadi? Haha, itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Bukankah kita pasti tahu jawabannya? Jeruji besi, hinaan, dan penderitaan yang bertahun-tahun telah menanti kami di balik besi yang ‘katanya’ tempat orang bersalah. Cukup adilkah?

BAG 1

            Matahari yang panas membakar kulit Januar, pria yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas di Klaten, Jawa Tengah. Pria ini berdiri dengan gagahnya, membawa dua buah tas besar miliknya. Tas yang berisi pakaian dan bekal makanan untuk tinggal di kota metropolitan. Januar menggerakan kedua bola matanya, melihat keadaan dirinya yang kini menampakan kaki di tengah keramaian, lusuh dan peluh yang mengalir membasahi kaos hitam yang ia kenakan.

“Pak, saya dimana ya?” Januar mulai kebingungan, pria ini bertanya pada seorang bapak tua penjual minuman di pinggir stasiun kota.
“Mas darimana?” bapak itu bertanya kembali.
“Saya dari Klaten, Pak.” Jawabnya singkat, wajah penjual minuman itu sedikit bingung. Kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, bapak tua itu meneruskan kegiatannya. Kini tinggalah Januar yang kebingungan bukan kepalang.

            Januar mencoba menghubungi temannya yang ada di Jakarta, Sahid. Mereka bertemu saat Januar melakukan studi tour di Jakarta, mereka cukup akrab dan sering berkomunikasi melalui seluler.
“Hid, kau dimana? Aku sudah di stasiun Gambir nih, tapi ga tahu lagi arah ke rumahmu.”
“Oh, tunggu disana ya. Nanti saya jemput.” Telepon pun terputus.
Januar, menguncangkan kakinya dikursi halte. Ia tak jemu-jemu memandang hilir mudik orang yang terlihat sangat sibuk. Tiba-tiba saja Januar teringat dengan kepergian Ibunya tiga bulan yang lalu, dimana hari itu adalah hari bersejarah dalam hidup Januar. Saat ibunya memeluk Januar dengan air mata yang mengalir begitu derasnya, saat ibunya menggenggam erat tangan Januar karena menahan sakit yang tiada tara. Dan saat itulah Januar menyaksikan sendiri kepergian orang yang sangat ia kasihi. Malam itu Januar tahu bahwa itu akan menimpa ibunya, menimpa dirinya. Ribuan pecut menghantam tekad Januar untuk memperbaiki keadaan hidupnya, saat sang ibu sakit keras namun apa daya? Tak seorang pun mampu menanggung biaya rumah sakit, tak seorang pun mau ikut merasakan kepedihannya. Januar yang malang hanya bisa meratapi kepergian ibunya, dan menaburkan bunga di atas makam pahlawan bagi dirinya.

“War,  kau sudah lama?” Sahid datang memarkirkan sepeda motornya di depan Januar.
“Ah, tidak apa-apa.” Jawab Januar dengan wajah berseri-seri.
“Sini, saya bawa tasmu. Biar ditaruh di motorku.” Sahid membantu Januar membawa koper dan tasnya, menyusunnya dengan rapi agar tidak jatuh.
“Sudah, biar saya pegang saja Hid tasku.” Merekapun melaju ke rumah Sahid. Rumah yang cukup untuk mereka tinggal, Sahid tinggal bersama keluarganya. Ayah, Ibu dan satu adiknya, Siti. Keluarga Sahid sangat ramah dan bersahabat, mereka dari suku Betawi, dan sangat menghargai para tamu yang datang mengunjungi rumah sederhananya itu.
“Hid, ini saya tidak apa-apa tinggal di rumahmu?” tanya Januar.




Komentar

Postingan Populer