Lelaki di Persimpangan Jalan

#Life #Love #Moral

            Dua gelas kopi telah dihabiskan oleh Kasno di gubuk reyotnya, dengan tatapan sendu kepalanya mengangguk – angguk kecil, radio usang di sampingnya terus memutarkan lagu – lagu Jawa. Matanya tersentak ketika terdengar suara gemuruh keras dari langit, Kasno buru – buru memasukan barang – barangnya ke dalam rumah. Didapatinya Lastri yang sedang tertidur pulas diruangan yang kecil.
            “Lastri, Bangun ndok..” Kasno membangunkan anaknya. Matanya pedih melihat pemandangan itu, betapa tidak putrinya yang berusia 12 tahun itu harus menjalani hidup sepahit ini. Tanpa alas Lastri tertidur pulas, hujan dan cuaca yang dingin tidak lagi dirasakan oleh Lastri. Lastri terbangun perlahan, menatap wajah Kasno yang sudah penuh dengan air mata, mata Lastri yang memerah karena mengantuk terbelalak kaget melihat pemandangan tersebut.
            “Ada apa pak?” khas dengan logat Jawanya. Walaupun keluarga Kasno bukan lagi pengguna bahasa Jawa tetapi logatnya masih kental ditelinga. Kasno buru – buru menghapus air matanya.
            “gak apa – apa Ndok. Kalo mau tidur di kamar saja, disini dingin dan banyak nyamuk.” Ujar Kasno, Kasno adalah orang tua tunggal yang telah ditinggal cerai oleh istrinya. Sejak Lastri berusia 5 tahun Kasno sudah menjadi orang tua tunggal yang merawat dan membesarkan Lastri hingga sebesar ini. Bagi Kasno satu – satunya alasan untuk hidup adalah Lastri. Putri tunggal dari buah cinta Kasno dan mantan istrinya Meni.

            Empat belas tahun silam, jauh saat Lastri belum dilahirkan di dunia ini. Kasno berjumpa dengan wanita cantik nan anggun di persimpangan jalan Merah Putih. Di kampungnya Meni adalah kembang desa dan rebutan semua pihak laki – laki dari yang masih muda hingga aki – aki. Meni adalah buah cinta dari Pak Darjo dan Bu Karni, Meni adalah keluarga terpandang di kampungnya, bukan hanya karena Meni sang kembang desa tetapi kedudukan ayahnyalah yang menjadi kunci utama. Sebagai kepala desa, Pak Darjo memegang penuh atas tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan berperan penting untuk mendidik Meni.
            Di tengah malam yang dingin, Kasno dengan sepeda bututnya melaju pelan dengan perasaan gundah karena hingga saat ini belum pula mendapatkan pekerjaan. Diperjalanan yang gelap gulita Kasno melihat Meni yang berjalan sendirian dengan lunglai di tengah malam, sebagai naluri lelaki Kasno sangat senang dapat bertemu dengan kembang desa yang selama ini menjadi bahan pembicaraan di kampungnya. Dan malam ini pula ia dapat melihatnya dari jarak sedekat ini.
            “Dek, ko sendirian?” tanya Kasno yang berjalan disamping Meni dengan menuntun sepada kesayangannya itu. Meni tersentak kaget, tak menyangka ada orang di malam hari. Meni menatap Kasno begitu lama, entah apa yang difikirkan oleh Meni malam itu, karena ketampanan Kasnokah Meni menatapnya begitu lama? Ya, memang dari segi fisik Kasno adalah pria tampan dengan ratusan karisma, tubuhnya yang tegak dan wajahnya seperti arjuna, kulitnya yang sawo matang menambah kegagahan pria ini.
            “Dek..” Kasno menepuk pundak Meni dengan pelan.
            “Eh iya, mas. Anu, saya baru pulang belajar sulam di rumah Bu Trisno.” Jawab Meni dengan gugup, rasanya Meni belum pernah berbicara sedekat ini dengan laki – laki.
            “Aku antar pulang yo?” Kasno secara mendadak salah tingkah, pertanyaan bodoh itu keluar begitu saja. Akankah Meni mau diantar oleh pengangguran macam aku ini? Kasno memaki dirinya sendiri.
            “Gini dek, maksud ku gini. Nggak baik kalo perempuan jalan sendirian malam – malam seperti ini. Pasti Pak Kades juga nggak akan tenang kalo tau kamu pulang sendirian, aku nggak ada maksud apa – apa loh dek.” Kasno menyempurnakan ucapannya tadi.
            “Loh, nggak apa – apa kok mas. Lagi pula kita kan searah.” Meni tersenyum dengan pipi yang merona. Betapa senangnya Kasno dapat jalan beriringan dengan si kembang desa.
            Mereka berpisah di persimpangan jalan rumah Meni, dua arah telah menanti Kasno disana Jalan Lembang dan Jalan Melati, dua arah yang mengantarkan Kasno pada gubuk reyotnya itu. Meni menghentikan langkahnya dan hendak masuk ke dalam rumahnya, Kasno  dengan cepat menarik lengan Meni. Perasaan enggan berpisah mulai muncul diantara mereka berdua, ada hawa panas yang mencairkan dinding es tersebut.
            “saya Kasno.” Kasno mengulurkan tangannya.
            “saya Meni.” Meni ikut memperkenalkan namanya, walaupun gadis itu tau bahwa Kasno pasti mengenalnya. Mata mereka saling bertatapan, banyak harapan yang tertanam disana, harapan akan bertemu lagi dalam waktu yang dekat ini.

J J J

            Kasno melamar Meni dengan penuh keberanian, walau ia tau pasti akan ditolak oleh Pak Darjo dan istrinya. Tapi mau apalagi? Cintanya sudah begitu penuh dihati dan harus segara diungkapkan pada kedua orangtua Meni. Meni selalu berpesan pada Kasno bahwa pria sejati tidak akan pernah menyerah dalam memperjuangkan cintanya.
Cinta? Tentu saja, cinta yang telah ia rajut selama dua tahun itu. Dua tahun setelah pertemuannya di persimpangan jalan Merah Putih pada malam hari yang dingin itu, pertemuannya telah mengantarkan Kasno dan Meni pada satu keyakinan untuk bersama selamanya. Didepan rumah nan megah itu, Kasno memantapkan langkahnya untuk memasuki rumah Pak Kades.
            “ada apa kau datang kemari?” tanya Pak Kades dengan wajah muram.
            “saya ingin melamar putri bapak.” Dengan tegas Kasno mengutarakan maksudnya. Kasno sudah mempersiapkan mental baja untuk menerima segala cacian dan amarah dari pria tua tersebut. Wajah Pak Darjo sangat marah, kemarahannya kini sangat memuncak.
            “betapa sangat disayangkan. Putri secantik dan sebaik anakku harus menikah dengan laki – laki nggak jelas seperti mu? Itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Saya tidak akan pernah merestui hubungan kalian berdua.” Bentak Pak Kades dengan keras, guratan kemarahan tergambar diwajahnya. Namun, keberanian Kasno tidak meleleh begitu saja. Dia tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan cintanya pada Meni. Meni yang sedari tadi melihat kejadian itu menangis tersedu – sedu kemudian memeluk ibunya tersayang. Meskipun bu Karni juga tidak merestui hubungan putrinya dengan Kasno tetap saja naluri ibu berkata lain, perawakannya yang lembut membuat Meni merasa nyaman disisi ibunya.

            Jalan yang gelap dan kerikil tajam menemani perjalanan pulang Kasno. Dengan perasaan kesal, sedih dan kecewa memenuhi hatinya saat ini. Fikirannya entah kemana, dia bingung harus melakukan apa lagi. Dua tahun berpacaran dengan Meni dan hingga saat ini mereka belum mendapatkan restu dari kedua orang tua Meni. Meni yang selalu ada di hati dan fikirannya membuat api cintanya tidak pernah padam sampai kapanpun.
            Sudah berbagai tempat Kasno masuki untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Dan hasilnya menunjukkan bahwa ia gagal untuk menjadi sukses. Pada akhirnya Kasno menjadi hansip di desa seberang karena mana mungkin dia mendapatkan pekerjaan di kampungya? Karena Pak Kades telah menutup segala akses untuk dirinya. Kasno seperti dikucilkan ditempat kelahirannya sendiri. Apa salahnya? Bukankah, dia juga laki – laki normal yang ingin merasakan cinta.
            Dua gelas kopi telah menemani malam Kasno, dia berbaring di bale panjang depan gubuknya. Memikirkan cara apalagi untuk bisa hidup bersama Meni. Batinnya teriris bila mengingat ucapan ayah Meni. Bagaikan mengharap hujan di padang pasir. Dua unsur yang berlainan dan tidak akan pernah bersatu.

J J J

            Rumah tangga yang harmonis dirasakan oleh Kasno dan Meni, pasangan yang begitu serasi bila dilihat dari segi fisik. Tapi tidak dari segi ekonomi, apakah cinta akan terus seperti ini? Setelah ayah Meni meninggal dunia karena terserang penyakit jantung ketika mendengar Meni menikah dengan Kasno tanpa restu darinya. Setelah itu Kasno dan Meni tetap menjalin rumah tangga tanpa memikirkan lagi perasaan orang tuanya. Tinggalah bu Karni seorang diri dirumah nan megah itu. Setelah putrinya dibawa pergi oleh Kasno dan suaminya telah meninggal dunia. Bu Karni meratapi kepergian kedua orang yang ia cintai dalam hidupnya.
                       
Satu tahun kemudian...

            Meni melahirkan seorang putri cantik, putri yang memberikan harapan baru untuk keluarga Kasno, yang tepat adalah ‘keluarga kecil’ Kasno. Kasno yang malang, Kasno yang merana, kebahagiaan rumah tangganya hanya berumur jagung. Bukan, bukan jagung yang sesungguhnya. Karena Meni meninggalkan Kasno dan putrinya, Lastri. Lastri kecil yang cantik hanya bisa menangis sepanjang malam dan sepanjang hari. Kasno hampir putus asa, ketika sepucuk surat gugatan cerai datang padanya. Diantarkan oleh staff lurah di tempat tinggalnya, setelah satu bulan Meni tidak pulang. Pergi entah kemana, terakhir Meni bilang akan bekerja ke Jakarta dan tidak kembali lagi. Hingga pertemuan terakhirnya di meja hijau, didepan para saksi mereka bercerai dengan hormat. Entah apa yang membuat Meni pergi meninggalkan keluarga kecilnya. Derai air mata jatuh di pipi Kasno, wajah Kasno yang tampan berubah menjadi kusut, tubuhnya semakin kurus dan terdapat garis-garis beban didahinya. Dengan tangannya yang kecil Kasno menggendong putri kecilnya dengan penuh harap bahwa Meni akan berubah fikiran. Namun apa daya, tangan tak sampai Kasno yang malang dan putrinya hanya meratapi kepergian Meni dengan penuh luka.
            Keseharian Kasno menjadi hansip di kampung sebelah kini tertunda, karena Kasno harus mengurus putri kecilnya, membuatkan sarapan, memandikan, bahkan bermain bersama. Lastri kecil terus tumbuh dengan sehat dan cantik, walau tanpa seorang Ibu putrinya tetap tumbuh menjadi anak yang ceria karena Kasno merawatnya dengan telaten dan berhati-hati. Saat usia Lastri beranjak enam tahun, Kasno harus mencari biaya lebih untuk menyekolahkan Lastri, besar harapan Kasno memiliki putri yang pintar dan sukses kelak nanti. Berbagai pinjaman telah Kasno cari kesana dan kemari, hingga Lastri kini masuk es em pe, sekolah dengan jenjang yang lebih tinggi daripada es de.

J J J

            Kembali pada malam yang dingin, lamunan itu tersentak kaget. Lastri bergegas menuju kamarnya dan melanjutkan tidur dengan lelap. Dalam kesendirian Kasno menatap jam dinding, waktu terus bergulir dan laki – laki kurus itu masih terus menyeka air matanya. “Empat belas tahun yang lalu..” gumam Kasno dalam kesendirian. Suara jangkrik kian berdecak satu sama lain menambah kegundahan hati Kasno. Kasno yang malang harus hidup seorang diri, kasih sayangnya kepada Meni dan putrinya tidak akan pernah pudar. Begitulah Kasno pria yang hampir berusia lima puluh tahun itu membiarkan dirinya sendirian dalam penantian yang panjang.
            “Pak, kok belum tidur?” sapa lembut Lastri diambang pintu kamarnya yang kecil. Langit-langit gubuk Kasno yang penuh dengan sarang laba-laba.
            “Nggak apa-apa Ndok. Bapakmu ini sedang asik dengan kopinya.” Jawab Kasno seenaknya saja. Tapi Lastri tau bahwa Bapaknya sedang berdusta, gadis itu menatap dua gelas kopi Kasno yang sudah habis dan kering.
            “Tidur pak. Besok Bapak’kan mau jualan lagi pak. Nanti kecapean loh.” Lastri kembali mengingatkan Kasno. Kasno sebagai penjual tape keliling titipan Haji Jais, Haji Jais adalah laki-laki tua dari Jakarta dan menetap di kampung Kasno. Alasan utamanya adalah untuk menikah dengan istri keduanya. Haji Jais sangat baik, Lastri memanggilnya Mbah. Mbah Haji sangat sayang kepada Lastri sebagaimana putrinya sendiri.
            “Iya ndok..” hanya itu jawaban dari Kasno. Lastri memutar balikan tubuhnya dan kembali tidur. Kasno berbaring di bale kesayangannya dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, Kasno mencoba memejamkan matanya kemudian terlelap jauh dialam sana. Alam dimana ia dapat merasakan indahnya hidup ini.

J J J

            Kasno berdiri di depan pikulannya, memandang setumpuk tape yang berjajar dengan rapi diatas tampah kumuhnya. Air matanya mulai berlinang lagi, tapi ia sadar bahwa hari masih pagi dan ia tidak mau menjatuhkan air matanya untuk ke sekian kali. Lastri keluar membawa bingkisan kecil dilapisi plastik hitam dan ia memberikan bingkisan itu kepada Kasno. Lastri berpesan agar terus makan tepat pada waktunya, gadis itu mengingatkan Kasno kepada Meni, mantan istrinya, dulu Meni selalu melakukan hal yang sama pada Kasno. Tapi lagi – lagi itu hanyalah kenangan pahit dalam hidup Kasno.
            Kasno merunduk dan mulai memikul tampah – tampah kayunya, dengan sekuat tenaga ia berdiri dan terlihat urat – urat kecil bermunculan satu sama lain menandakan bahwa pikulan itu sangatlah berat. Lastri mencium tangan Kasno dan melambaikan tangan pada Orang tua tunggalnya, kemudian mereka tersenyum.
            Terik matahari membuat tubuh kekar Kasno berkeringat hebat, ia berteduh pada sebuah pohon yang rindang. Disandarkan tampah – tampah itu pada batang pohon yang besar, dan ia mengambil bingkisan kecil titipan Lastri, kemudian membukanya. Didapati sebuah nasi bungkus dengan telur dadar di dalamnya lengkap dengan teh manis hangat di plastik kecil. Kasno melemparkan senyum haru dan mulai melahapnya, pandangan matanya jauh kesana, entah ke depan atau ke belakang. Namun yang pasti Kasno adalah laki – laki di persimpangan jalan, tanpa tujuan dan tak tau arah. ‘Andai Tuhan tau betapa menderitanya aku saat ini’ pekik Kasno dalam hatinya yang menjerit dan memikik pilu.
            “Tapeeeeee.” Teriak Kasno di lapangan dimana banyak penduduk yang lalu lalang melakukan aktifitas. Begitu banyak anak kecil yang sedang bermain – main. Fikirannya tidak sedang baik tapi tidak sedang buruk pula.
            “Berapa mas sekilonya?” tanya wanita paruh baya yang sedang menggendong bayi kecilnya. ‘sangat cantik’ ujar Kasno di dalam hatinya. Kemudian Kasno tersentak kaget dan mengelus dadanya sambil beristigfar. Terlihat raut wajah wanita itu berubah menjadi khawatir. Seperti takut, cemas dan semua itu menjadi satu.
            “Ada apa mas? Apa ada yang salah dengan saya?” tutur kata wanita itu sangat baik dan teratur, Kasno sudah mengira bahwa wanita ini bukanlah wanita sembarangan dan dia pasti lahir di keluarga yang terhormat dengan menjunjung pendidikan tinggi.
            “Anu.. nggak. Apa mbak?” Kasno gugup dan merasa bahwa dirinya sedang diserang. Diserang oleh perasaan kagum yang tiada tara, matanya tak habis memandang wajah wanita itu.
            “sekilonya berapa? Saya mau beli 2 kilo kalau harganya cocok.” Tawa wanita itu dengan ramah, seperti hendak merayu dan tetap menggendong bayinya. Kasno sedikit kecewa melihat dirinya sendiri yang hanya berstatus sebagai penjual tape. Kehidupan yang baru seperti terpancar dari mata ibu muda itu, Kasno hampir lupa diri dan tersadar ketika tangisan bayi memecah lamunannya.
            “dua ribu, Mbak.” Jawab Kasno, ia yakin bahwa tidak ada kesempatan untuk mengenalnya lebih. Mana bisa seorang penjual tape mendekati wanita cantik yang berwibawa lagipula dia sudah mempunyai anak.
            “yasudah saya beli 3 kilo deh mas. Yang manis – manis yah..” ujar wanita itu sambil memilih beberapa tape yang segar, membayar kemudian berlalu.
           
J J J

            Lastri menggambar beberapa wajah seorang wanita diatas buku tulisnya yang usang, memejamkan mata lalu menggambarnya lagi begitu seterusnya. Lastri menghapus beberapa bagian yang kurang pas, berlari ke kamar dan berdiri di depan cermin. Lastri memutar mutarkan tubuhnya kemudian menegaskan wajahnya ke depan cermin, kini lebih dekat dan sangat dekat. “Ya aku tau!” pekik Lastri dan kembali pada gambarnya, menambahkan beberapa aksesoris indah.
            “Bapak...” Lastri berteriak menuju Kasno yang sedang bersender di bale kesayangannya. Kasno tersentak heran dan membetulkan duduknya.
            “Lihat pak. Aku ingat wajah Ibu seperti ini kan?” Lastri menunjukkan kertas bergambar wajah seorang wanita yang ia yakini itu adalah wajah ibunya. Kasno hampir tidak habis fikir, betapa rindu anaknya kepada ibunya, kepada Meni. Kasno kini yang tertegun menatap wajah putrinya, putri satu – satunya. Kasno mengusap rambut Lastri dan merogoh kantongnya, mengambil dompet lusuh kemudian mengeluarkan foto hitam putih dan hampir tidak terlihat jelas siapa yang ada di dalamnya.
            “Ini Ibu, ndok.” Seru Kasno menahan ledakan air mata. Lastri merebutnya dan membelalakan mata dengan lebar, decak kagum yang luar biasa yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata – kata.
            “Bapak. Ibu cantik banget ya, kaya aku. Itu ada tahi lalat juga di dagunya.” Lastri terus memuja dan memuji foto itu, betapa asing bagi Kasno membiarkan anaknya melihat Meni. Meni yang tidak mempunyai perasaan, Meni wanita jalang yang tidak memikirkan nasib anaknya sendiri. Meni oh Meni...

Beberapa tahun kemudian..

            Hidup yang semakin sulit, kenaikan kurs dollar membuat semua masyarakat harus merasakan kesulitan yang luar biasa, harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, berat bagi semua orang untuk terus mempertahankan diri dengan keadaan yang seperti ini. Keadaan yang semakin buruk khususnya untuk rakyat kecil, rakyat miskin seperti Kasno. Sudah empat bulan ia berhenti jualan tape, Haji Jais memutuskan untuk menutup sementara usaha tapenya. Ya keadaan ekonomi yang tidak stabil ini mana mungkin ada orang yang masih membutuhkan tape, untuk membeli beras saja susah apalagi untuk membeli tape. Sangat disayangkan Kasno harus menjadi pengangguran.
            Lastri tumbuh menjadi wanita yang cantik, remaja yang penuh daya tarik dan siap dengan dunia kerja, dunia industri. Paras dan tubuhnya yang aduhai membuat Kasno ketar ketir, takut akan pergaulan yang menggilai ini, pergaulan yang sudah tidak mengenal batasan, tidak mengenal agama dan perbedaan gender begitu sekiranya.
            “Pak, Lastri bingung mau kerja dimana. Dikampung’kan sepi Pak, gimana mau bayar Lastri kalau buat makan aja disini susah.”
            “ya jangan gitu ndok.. kamu cari ya disini, tapi di daerah kotanya jangan di daerah terpencil seperti kampung kita ini, diujung jalan sana juga sudah banyak gedung – gedung bertingkat. Sudah coba lamar kesana?” Kasno mencoba menenangkan ke khawatiran putrinya. Raut wajah Lastri tidak berubah tetap pada keadaan yang cemas.
            “Pak, kalo Lastri ke Jakarta gimana? Temen Lastri banyak yang tinggal disana, katanya gajinya besar. Kan lumayan Pak, Lastri bisa kuliah, bisa beliin rumah buat Bapak, bisa buat hidup kita lebih baik Pak.” Mata Kasno terbelalak kaget, seperti ada petir yang menyambar hati dan fikirannya, betapa hancur berkeping – keping mendengar kalimat yang keluar dari anak kesayangannya, satu – satunya keluarga yang ia miliki. ADA APA DENGAN JAKARTA? Pertanyaan itu menggelayut hebat di angan Kasno, mengingat Meni yang ke Jakarta dan tak kian kembali, lalu sekarang anak satu – satunya, apa yang harus ia lakukan? Membiarkan pergi? Itu tidak mungkin.
            Kasno membanting asbak yang ada disampingnya hingga menjadi berkeping – keping, Lastri tak kalah kaget melihat ekspresi Bapaknya. Bapak yang selama ini selalu bersikap baik padanya. Kasno kemudian masuk ke dalam kamar, mengurung diri dan menangis, membiarkan air mata itu meleleh jatuh ke baju dan sarungnya.
            Lastri masih mematung..............

            Percakapan itu membuat hubungan mereka jauh menjadi lebih jauh, jauh dan semakin jauh seperti ada dinding es yang membatasi mereka berdua. Setiap hari Kasno memilih diam di dalam kamar, mematung, berzikir dan menangis. Lastri tak bisa berbuat apa – apa, dia ingin marah dan tak mengerti apa yang terjadi. Malam yang semakin dingin, Lastri terkurung dalam fikirannya sendiri.

            Tepat pukul sebelas malam, Kasno keluar dari kamarnya masih memakai sarung dan peci dan tas sobek yang penuh dengan beberapa pakaian. Langkahnya gontai, tatapannya sayu, ia keluar dengan berhati – hati tanpa daya, pergi dan pergi meninggalkan gubuk reyotnya, pergi meninggalkan Lastri, pergi meninggalkan bale dan gelas – gelas kopinya, pergi meninggalkan kehidupannya. Kemana Kasno? Entah kemana, ia adalah lelaki di persimpangan jalan. Lelaki di persimpangan jalan Merah Putih, berdiri dan berdiri sepanjang hari disana, dengan tawa, tangisan dan menggelak bahana. Menyebut beberapa nama, ‘Meni’ dan ‘Lastri’.

                                     
                     

            Lelaki di persimpangan jalan, raut wajah yang berkerut ketakutan akan harapan, impian dan segalanya bayangan maut di depan pelupuk matanya, tatapan seorang gadis cantik tanpa nyawa, dingin dan dingin menggantung di hadapannya.
Lelaki di persimpangan jalan Merah Putih, Meni dan Lastri. Oh Meni, Oh Lastri...
                                          

Created by: Syafira Amelia

Sabtu, 21 Desember 2013

https://twitter.com/syfiraaaa 


Komentar

Postingan Populer