Candy of Life



Candy of Life

          Kehidupan itu tidak selamanya bahagia, terkadang roda kehidupan tidak berpihak pada diri kita. Sebagaimana hidup ini, ketika ada yang terluka disana ada yang bahagia dan begitu sebaliknya. Lalu apa yang harus kita lakukan?

            Hari ini tepat 5 bulan aku mencari-cari pekerjaan di Ibukota, setelah aku tamat dari Sekolah Menengah Kejuruan aku terus mencari-cari pekerjaan tapi sangat sulit. Dan hari ini aku sangat merasa menjadi manusia yang paling tidak berharga di dunia, banyak rencanaku tapi tak ada satupun yang dapat aku laksanakan. Ternyata mencari pekerjaan itu tidaklah mudah, padahal hampir semua kantor telah aku masuki, tapi tidak ada satu panggilan pun yang aku dapatkan. Luntang-lantung di jalan, terik matahari yang membakar kulit gelapku semakin membuatku putus asa. Tidak mendapat apa yang seharusnya aku dapatkan. Aku berjalan dengan kedua kakiku yang hampir saja lunglai karena jauhnya jarak yang aku tempuh, maklum.. ingin menggunakan sepada motor tentu saja terlalu banyak pertimbangan yang aku fikirkan. Jadilah aku orang terbodoh, aku merasa hidupku 12 tahun yang silam sia-sia saat ini. Yang membuatku merasa sangat hancur saat Emak menanyakan “bagaimana? Sudah dapat?” pertanyaan itu seperti petir yang menyambarku di siang hari. Bayang-bayang itu membuat aku enggan pulang.

            Bukan salah Emak, tapi salahku. Mengapa aku menjadi anak yang tidak berguna padahal Emak telah membiayai sekolahku tapi aku belum juga dapat membalas itu semua. Ku tengok sakuku, hanya sepuluh ribu rupiah. Untuk apa? Ongkos saja bisa-bisa kurang. Padahal tenggorokkan ku sudah kering, perutku juga sudah lapar. Argggh! Aku seperti ikan ditengah daratan. Aku tengok ke kanan dan ke kiri, jalan raya yang sangat padat, panas dan bising. Kepalaku pusing, terbesit ide jahat dikepalaku, Tidak!! Itu tidak akan aku lakukan. Akupun meneruskan jalanku. Hingga malam sejuk menemaniku di pinggir kota, masih sama. Aku masih dalam keadaan haus dan lapar, ku tengok jam di Handphone Esia ku, “mmm...” gumamku lirih. Emak tidak menelepon ku juga, apa dia sudah tidur? Tak lama sebuah panggilan masuk. “Iya Emak.. Jaka sedang dijalan. Tadi ada Interview..” ungkapku berbohong. Ternyata Emak masih mengkhawatirkanku, aku pun pulang dengan perasaan takut karena telah berbohong, tapi aku tidak ingin mengecewakan Emak. Emak begitu berharap dengan karirku. Ya Tuhan! Mengapa?

****

            Berangkat pagi dan pulang malam kini menjadi kegiatanku sehari-hari, tanpa membawa uang sepersen pun, kecuali uang simpananku yang aku ambil setiap hari. Satu kebodohan telah membuat hidupku tambah susah, dan perasaan bersalah ini semakin besar. Ingin rasanya aku mengakhiri segalanya, tapi? Bagaimana dengan Emak-ku? Emak telah membiayai hidupku seorang diri. Aku semakin bingung, dan tidak mengerti apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku tidak mungkin terus berbohong pada Emak. Lalu bagaimana dengan awal bulan? Tidak ada gaji, tidak ada uang, itu berarti tidak ada kehidupan. Aku harus melakukan sesuatu, tapi apa? aku merunduk sebentar di halte, ku lihat kemeja lengan panjang telah membaluti tubuhku, celana dan sepatu ini. “Argh!! Mengapa aku bodoh?!” kenyataannya sampai saat ini aku hanyalah pengangguran dan tetap pengangguran, aku tidak pantas mengenakan ini semua. Aku bersandar pada tepi halte yang dingin karena matahari telah tenggelam diufuk barat. Lalu lalang orang berjalan dihadapan ku, wajahnya lesu tetapi masih punya harapan tidak sepertiku. Aku terus menyalahkan diri sendiri, tidak ada telepon dari perusahaan manapun, tidak ada satu sms-pun yang datang. Apakah dosaku? Apa salah Emak-ku? Ahh! Aku membanting handphone ku kemudian memungutnya, hatiku seakan remuk. Harapan sudah tidak ada lagi, aku kembali kerumah dengan perasaan bodoh dan perasaan bersalah itu terus terbayang-bayang di fikiranku.

            “Eh, anak Emak udah pulang. Sini Emak udah masakin buat kamu, ada sayur asem sama ikan asin kesukaan kamu nak.” Ajak Emak yang menyambutku dengan wajah berbinar-binar. Aku masuk selangkah demi selangkah dengan gontai, aku takut melakukan kesalahan, ingin rasanya aku mengatakan yang sesungguhnya, tapi apakah aku begitu tega menyakiti hati Emak yang sedang bahagia ini? “Eh iya Mak, Jaka juga udah laper banget Mak, mau makan masakan Emak.” Seru ku dengan wajah palsu. Kamipun makan bersama, hangatnya kasih sayang dari Emak dan aku yakin kasih sayang ini tulus. “Maafkan aku Emak, yang belum bisa membuatmu bahagia..”

            Pekerjaan makin sulit ku dapatkan, aku bertanya kepada teman-temanku. Dan aku mendapatkan tawaran menjadi Cleaning Service disebuah kantor. Aku langsung saja menerimanya, walau ku tau ini tidak sesuai dengan jurusanku. Tapi siapa peduli? Lihat mereka hidup bahagia hanya untuk dirinya sendiri. Peduli apa? Yang aku butuhkan adalah uang, uang dan uang untuk biaya hidupku. Dan dari sinilah perjalanan hidupku dimulai!

.......................................

            “Jaka... tolong belikan Bapak Ketoprak ya dibawah!” seru Pak Agus dari ruangannya. Aku menghampirinya dan langsung menjalankan perintahnya.. “Jakaaa.. kamu mau kemana? Buatkan ibu teh dulu!” perintah Ibu Mita kepadaku. Langkah ku berhenti sejenak, aku kembali ke dapur untuk membuatkan Ibu Mita teh manis lalu mengantarkannya kemudian aku turun ke bawah membelikan Pak Agus ketoprak. Ya Tuhan mengapa hidupku menjadi rumit seperti ini? Aku terus termenung sendiri dalam langkahku. “mas!! Nih ada koran, antarkan ke lantai yang paling atas ya!” satu perintah lagi dari Resepsionis yang kata-katanya kurang berkenan dihatiku. Aku membawa sekantung ketoprak dan ku tengok tumpukkan koran itu. Banyak dan sangat banyak! Aku bergegas mencari troli barang, tidak ku temukan. “cari apa?” tanya Resepsionis sombong itu. “Troli, mbak.” jawabku dengan sabar. “nggak ada Troli! Troli udah dibawa ke gedung 2! Bawa aja pake tangan.” Kata-kata itu membuatku semakin geram. Tapi aku ingat bahwa mendapatkan pekerjaan itu sangat sulit bahkan harus mengorbankan segalanya termasuk harga diriku yang kini terinjak-injak.

            Kini tanganku penuh dengan koran-koran yang menghimpit dadaku hingga ke wajahku. Oh betapa melelahkan hidup, sepertinya mental ku sedang di uji ataukah memang aku pantas mendapatkan ini? koran-koran telah aku taruh dan sebungkus ketoprak ini... “Permisi Pak.” Ucapku berhati-hati, aku yang kini berdiri tepat dihadapan Pak Agus. “apa? kerjamu sangat lamban. Lama sekali, mengapa HRD menerima kamu bekerja disini? Asal kamu tau bahwa perusahaan ini tidak membutuhkan tenaga kerja yang tidak bisa diandalkan seperti mu!” hardik Pak Agus yang mengiris setiap untaian katanya, aku terus menunduk tanpa dapat menatap wajahnya yang memerah dengan penuh amarah. “Maaf, Pak.” Kemudian aku berlalu keluar, jutaan tangis membebani perasaanku.

            “Mak, Jaka pulang..” seruku dari luar. Tidak ada jawaban juga, apa Emak sudah tidur? Aku pun masuk mencari-cari Emak. Tidak ada, kemana Emak ya? Aku semakin khawatir. “Jaka, kamu sudah pulang?” ucap Emak di ambang pintu, “emakkkk.. Jaka nyariin Emak.” Peluk-ku dan mencium kedua tangan Emak. “Kamu lelah sekali Jak, capek ya kerjanya?” tanya Emak padaku, tangannya yang keriput mengelus pipiku. “Enggak emak..” dan tanganku membalas tangan Emak yang dingin. “emak darimana sih?” tanyaku penasaran. “Ada deh, itu rahasia Emak.” Ujar emak tertawa dengan wajah yang kian menua.

****

            Bulan baru telah tiba, bulan baru datang menyambut setiap insan yang harap-harap cemas. Sama sepertiku, mengantri di kotak ATM menunggu giliran mengecek gaji pertamaku. Banyak hal yang ada difikiranku, makanan untuk Emak, uang bulanan untuk Emak bahkan membelikan Emak mukena baru. Aku masih menunggu dan tibalah giliranku, masuk kedalam kotak ajaib ini, tentunya masih dalam keadaan yang sama. Aku keluar dengan wajah sedikit kecewa, gajiku satu bulan ini hanya Rp. 700.000,-. Tubuhku lemas, kaget dan amarah seakan bersatu dibatiniyahku. Apa bayaran ini setimpal dengan pekerjaanku yang melelahkan ini? aku memandang uang itu dengan lekat-lekat, aku masih bisa menjaga amarahku untuk tetap besyukur. Ini hasil dan jerih payahku, aku pulang membawakan Emak martabak manis kesukaannya. Namun, hati kecilku tidak dapat berfikir sehat, masih tak menerima dengan kenyataan hidupku yang malang.

            Berjalan kaki membawa satu kantong martabak manis, dengan peluh keringat membasahi bajuku. Satu keputusan terbesar adalah mengambil suatu perubahan, aku tidak mau hidup ku hanya seperti ini saja. Kebohongan akan tetap menjadi masalah dalam hidupku, Emak yang selama ini percaya padaku tidak mungkin aku terus membohonginya. Dengan langkah tergesa-gesa aku berjanji akan mengatakan yang sebenarnya pada Emak.

...............................

            “Mak, Jaka pulang.” Ucapku dengan lirih kemudian meletakan martabak manis diatas meja. Aku duduk dengan tatapan serius, dan suasana tegang kini ada dalam satu elemen, satu ruangan yang berisikan dua insan yaitu Ibu dan anak. Emak keluar dari kamar dengan mukena dekilnya, “Eh Jaka udah pulang, yuk makan. Emak udah masak!!” ajak Emak dengan wajah polos, aku masih terdiam dengan memasang wajah serius. Duduk termenung dikursi reyot, “Mak!!” bentakku sedikit keras. Membuat Emak sedikit ketakutan. Emak duduk dihadapanku dengan wajah penuh tanda tanya, ada kecemasan dibalik wajahnya. “Mak.. Jaka mohon maaf. Jaka bukan anak yang baik, Jaka durhaka mak!” peluk ku pada tubuh Emak, aku memohon ampun padanya. Butiran air mata mengalir deras dipipiku. Emak belum juga membuka suaranya untukku, aku takut menatap matanya. “Mak... maafkan Jaka. Jaka bersalah mak!! Jaka telah membohongi Emak, Jaka bukan karyawan mak. Jaka hanya Cleaning Service Mak. Mak maafkan Jaka, Jaka belum bisa bahagiain Emak. Maafin Jaka mak...” aku terus merengek seperti anak kecil. Tangan dingin itu mengusap bahu ku dengan lembut, suaranya yang lirih kini sedikit mulai terdengar. “Nak, emak sudah tau semua. Apapun pekerjaan mu, emak tetap bangga padamu. Kerja keras dan kejujuranmu adalah hal terpenting Nak. Emak percaya ini semua sudah diatur sang Gusti Allah. Emak percaya padamu Nak, emak percaya padamu.” Pelukan emak yang semakin erat, membuat hatiku begitu tenang. “Ya Allah terimakasih telah Engkau jadikan aku anak dari Emak yang sangat menyayangiku dengan tulus. Terimakasih telah memberikan aku jalan yang benar.” Ucapku dalam hati.

........................................

            Menjual kue serabi adalah pilihan terakhir. Tidak! Bukan terakhir tapi ini adalah batu loncatan dalam hidupku. Aku ingat pelajaran kewirausahaan saat aku sekolah dulu ”jika kamu tidak mendapatkan pekerjaan, maka ciptakanlah lapangan pekerjaan”   ternyata semboyan itu sedikit membantu ku. Aku mengundurkan diri dari pekerjaan lama ku, menjadi apapun sebenarnya tidak masalah bagiku. Tapi pekerjaan ini jauh membuatku lebih bahagia. Emak dari kejauhan membuat adonan kue serabi, bakat yang dimiliki emak-ku membuat hidup kami jauh lebih baik. Kue serabi Emak Salmah sudah terkenal di daerahku, kini kami mempunyai banyak pelanggan. Bahkan tetangga kami mempromosikannya pada teman-temannya yang lain. Sudah 4 tahun aku dan Emak membuka usaha ini, dan yang paling mengejutkan adalah istriku Mirna, ingatkah kalian pada Resepsionis menyebalkan itu? Ya! Kini dia menjadi pendamping hidupku. Mirna meninggalkan pekerjaannya dan bersedia bekerja sama dengan Emak untuk menjual kue serabi. Bahkan kini Mirna menjadi pelanggan setia serabi Emak, sudah tidak ada lagi Mirna yang menjengkelkan yang ada saat ini adalah Mirna si penjual serabi.

Lalu bagaimana dengan aku? Jaka yang sekarang tidak pernah kenal putus asa dan tidak kenal kata menyerah.

Kini aku menjadi kaki tangan perusahaan, menjadi seseorang yang dipercaya untuk menjalankan restoran milik teman ayah ku dulu yang juga terinspirasi dari kue serabi buatan Emak. Berkat doa dan dukungan dari Emak kini aku dapat merasakan bahwa roda kehidupan itu berputar pada satu poros yang mengalami banyak perubahan. Satu poros yang membuat seseorang jauh lebih baik, satu poros yang membuat segalanya lebih bermakna. Aku bersyukur kepada Allah, kini aku sudah mampu membelikan emak mukena baru dan sepeda baru untuk emak.

“Ayah...” peluk tangan mungil dari belakang. Aku menengok kebelakang, “oh.. Candy anakku, sini sama ayah.” Aku pun meraih badan kecil itu untuk berada di dekapanku, buah hati yang menjadi harapanku. Sama seperti emak yang dulu menjadikan aku harapan hidupnya, menjadikan aku satu-satunya alasan untuk bertahan.

Percayalah, hidup itu indah seindah langkah hidupku, hidup itu manis semanis bebanku. Caci maki dan hujatan bukanlah masalah besar dalam hidup, masalah terbesar adalah saat kita berbohong pada sesuatu yang salah. Candy of life mengajarkan kita untuk membuat hidup lebih berarti, perubahan tidak selalu dimulai dari kemudahan. Tapi darah dan air mata yang dapat merubah segalanya, ciptakanlah permen dalam hidupmu. Permen yang selamanya akan manis yaitu permen yang terbuat dari kerja keras dan kejujuran.

Candy of life, THE END


   

Oleh: Syafira Amelia

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer