Lilin Terakhir Untuk Adik




          Semangat ku menjadi seseorang yang dipercaya dalam keluarga, setelah ayah ku meninggal dunia dan kakak laki-laki ku yang mengalami kelainan jiwa. Kini hanya aku, Ibu dan adikku Ayu. Ibuku seorang pedagang gorengan keliling, setiap hari harus menjajakan gorengannya di pinggir jalan, halte dan tempat umum lainnya. Bahkan sering menghampiri ke rumah-rumah warga. Setelah ayah meninggal dunia, tepatnya saat umurku 10 tahun. Begitu aku mengenal sosok ayah yang sangat tangguh, ayahku hanya seorang tukang ojek dengan motor bututnya. Aku tak malu dan aku percaya memang Allah telah memberikan jalan seperti itu. Beliau hidup dalam naungan rumah kecil, bisa dikatakan gubuk tua atau reyot. Selama hidupnya Ayah selalu melakukan yang terbaik untuk keluargaku, ia tak pernah mengeluh ataupun kasar kepada kami. Ayah harus melawan kanker otak yang akhirnya menghantarkan ayah ke surga-Nya. Beliau begitu gigih dan menutupkan matanya pada usia 40 tahun.

          Sedangkan kakak laki-laki ku “Danu”, begitu aku memanggilnya “Abang”. Bang Danu pria yang tampan, bahkan dia tampak lebih pintar dibanding aku dan Ayu. Bang Danu tak bisa sekolah tinggi karena Ayah dan Ibu tak mampu membiayainya, jadilah Bang Danu seorang abang yang buta akan ilmu pengetahuan. Namun Bang Danu tau apa yang harus ia lakukan, ia bekerja keras sebagai kuli panggul dipasar untuk membiayai sekolahku. Bang Danu sangat baik, aku pun takkan pernah melupakan semua jasanya hingga saat ini aku bisa berada disebuah sekolah SMK. Walau tak sebagus sekolah lainnya tapi aku bahagia masih bisa merasakan ini semua. Karena bang Danu-lah aku bisa berada disini.

Namun, itu semua kini hanya menjadi kenangan pahit. Bang Danu bekerja terlalu berat, ketika ia memanggul barang-barang dalam jumlah berat yang melebihi kemampuan, saraf otak bang Danu mengalami gangguan yang berakibat keterbelakangan mental yang bersifat permanen. Setelah kejadian itu, aku Ibu dan Ayu begitu terpukul. Bang Danu adalah satu-satunya harapan keluargaku yang juga tulang punggung keluargaku, kini semua sirna. Berbagai kesulitan datang menghampiri keluargaku. Hati ku sakit bila melihat bang Danu yang kini cacat mental, ia tertawa kadang menangis dan menjerit sendiri. Ingin rasanya aku membalas semua kebaikannya dulu, tapi itu semua sangat sia-sia. Hingga akhirnya aku dan Ibu memutuskan membawa bang Danu untuk tinggal bersama paman ku di Jepara. Sampai saat ini pun aku belum pernah bertemu dengan bang Danuku.

Dan adikku Kemayu Larasati. Begitu aku memanggilnya “Ayu”, gadis kecil yang sangat cantik, usianya beranjak 9 tahun. Dengan rambut panjang yang hitam legam, dan kulit kuning langsat. Namun itu dulu, saat adikku berusia 5 tahun. Kini semua berubah menjadi menyeramkan, tumor ganas yang memakan waktu lama berkembang dalam tubuh adikku. Rambutnya tak lagi panjang dan tak lagi hitam, badannya pun kurus dengan mata yang sayu. Ayu tetap adikku yang cantik, dimataku dia adalah segalanya. Penderitaannya tak akan pernah berhenti hingga akhir usianya nanti, dia tak tumbuh seperti anak kecil lainnya. Ia begitu tegar dengan penyakit yang dideritanya, semakin hari daya tahan tubuhnya semakin berkurang. Ayu tak pernah mengeluh dengan apa yang ia rasakan.

Aku dan Ibu hanya bisa membantu semampunya saja, biaya besar takkan pernah mungkin ada. Tumor itu semakin menjalar dan membesar dibagian paha Ayu, pernah ada seorang donatur yang membantu perawatan Ayu, tapi ternyata itu hanya sia-sia. Tumor itu tak berhenti menghabiskan tubuh adik kecilku.

          Pernah aku bertanya banyak tentang apa yang ia rasakan, lagi-lagi ia hanya tersenyum. Matanya yang sayu tak dapat membohongi sakit yang ia rasakan saat ini. “Yu, kamu sedang apa?” tanyaku pada Ayu yang saat itu sedang duduk menghadap ke luar jendela kamarnya. “aku sedang menghitung kak.” Jawabnya lirih. “apa?” tanyaku pelan. “seberapa lama lagi aku bisa menghabiskan waktuku dengan Ibu dan kakak. Dan seberapa lama lagi aku akan berjumpa dengan Ayah.” Jawabnya polos tanpa senyuman. Aku yang mendengarnya hampir tak percaya, bahkan sangat tak percaya. Ayu yang selama ini aku kenal ceria baru kali ini mengucapkan kata-kata yang sepertinya keputus asaan. Otak ku tak bisa berhenti berfikir, air mata pecah membasahi wajahku. Ayu hanya menatapnya, dan kemudian tersenyum. Wajahnya sangat manis, giginya terlihat tersusun rapi, walau tubuhnya sangat kurus dan rambut yang kian lama semakin menipis.

“Ayu tau kak, ini pasti akan terjadi. Ayu mau lebih lama bersama Ibu dan kakak disini, tapi Ayah pasti sudah menunggu Ayu disana.” Ujarnya lagi dan memelukku. Kali ini tangisan ku semakin besar, aku memeluk Ayu dan takkan ku lepaskan pelukkan ini. Aku tak mampu berkata-kata, aku tak dapat menjawab semua yang telah Ayu katakan. Semua seakan benar adanya.



***



          Hari ini Ibu tak dapat berjualan seperti biasanya, ia harus merawat Ayu dan menjaga Ayu. Tumor Ayu semakin hari semakin parah, kaki nya sudah lama tak bisa digunakan, tubuhnya hanya berbaring diatas kasur, wajahnya pun sangat pucat. Aku dan Ibu tak tega melihatnya, “seandainya Allah ingin mengambil nyawa Ayu maka ambilah saat ini juga” ini yang sering aku ucapkan ditiap solatku. Karena ku tak mampu melihat dan menatap adik kecil ku yang lemah diatas kasur, aku selalu berharap ini takkan terjadi pada adikku. Namun, kenyataannya berbeda. Ini terjadi, Ayah dan Bang Danu, dan seakan aku tak dapat menerima kenyataan ini bahwa Ayu lah yang harus menderita. Aku keluarga yang miskin, tak punya apa-apa yang bisa dibanggakan lagi selain kursi roda butut yang begitu sangat berharga untuk keluarga kami dan khususnya untuk Ayu.

          Bunga-bunga pun seakan menangis meratapi kehidupanku ini. Langit tak bersahabat, petir menggelar ribuan suara yang seakan membelah angkasa. Hujan deras kian datang dibelakangnya, mengguyur tiap ruang diluar sana. Ibuku apakah dia baik-baik saja? Aku melihat ibu yang sedang duduk termenung diteras rumahku, kakinya yang mulai dekil karena terkena tanah basah yang meloncat-loncat indah bersamaan dengan air hujan. “Bu, ada apa?” tanyaku perlahan sambil memegang bahunya yang kian mengendur karena usia. Tangannya membalas tanganku, “Ibu baik-baik saja. Sudahlah tidak perlu khawatir.” Kemudian Ia masuk meninggalkan ku diluar, aku tau ada banyak beban dibahu Ibu.

          Aku selalu ingin melakukan yang terbaik, apapun itu. Aku bekerja di Ibu Minah untuk membantunya menjajakan kue cucurnya. Itu rutin ku lakukan sebelum aku berangkat sekolah. Aku bekerja di rumah Ibu Farida sebagai buruh cuci baju dan itu ku lakukan setelah pulang sekolah. Tapi aku selalu merahasiakan itu dari Ibu, aku tidak ingin menambah beban Ibu karena pekerjaanku ini.

Sore hari yang teduh.. aku mengajak Ayu jalan-jalan sore, mendorong kursi roda bututnya dan dapat aku lihat senyum indah keluar dari bibir Ayu. Aku mengajaknya keliling kampung hingga keluar toko-toko kecil yang berbaris dengan ramai. “Kak, aku baru pertama kali kesini.” Ucapnya, “Benarkah?” tanyaku sambil tersenyum. “Iya tentu, setelah lama aku tumbuh besar ternyata tempat ini juga berubah ya kak.” Aku tidak menjawab dan terus mendorong kursi rodanya, aku tidak ingin mengeluarkan kata-kata yang bisa membuat kebahagiaannya luntur. “Kak... tunggu!!” seru Ayu. Aku menghentikan langkahku dan bingung apa yang sebenarnya terjadi, “lihat itu!!” tunjuk Ayu pada sebuah toko. Itu adalah toko lilin milik Koko Ah Jung, toko itu sudah ada sejak kami berdua kecil. “itu kak, toko koh Ah Jung kan?” adikku bertanya dengan sangat bergembira. Toko kecil yang lengkap dengan berbagai kerajinan lilin, sangat usang tapi tetap menarik. Ayu memintaku untuk datang kesana, melihat-lihat keadaan didalamnya.

          “Hei, Ayu. Itu kamu kan?” tanya Nci Eli dengan kaget. “wah sudah lama sekali saya tidak bertemu dengan mu.” Nci Eli pun memeluk Ayu, dengan wajah murung Nci Eli menatapku seakan dia telah mengerti apa yang terjadi pada Ayu. Aku mengucapkan salam dan mencium tangan Nci Eli. Tak lama Koh Ah Jung datang dan mempersilahkan kami masuk, Ayu berkeliling melihat-lihat barang kerajinan milik Koh Ah Jung. Aku mengikutinya dari belakang kursi rodanya, dan Ayu berhenti didepan sebuah lampu kucing yang terbuat dari lilin. Mata Ayu berbinar-binar seakan ingin memilkinya, bibirnya tersenyum simpul kemudian redup ketika melihat ku ada dibelakangnya. “eh Kak!” Ucapnya kaget “ada apa?” tanyaku heran. “nggak, lucu aja lilinnya. Aku ingin sekali lihat dia selalu dan menemani aku saat tidur. Pasti mimpiku jadi indah seindah lilin itu kak.” Jawabnya polos. Aku mengusap bahunya dan paham apa yang dia fikirkan. Yuk kita pulang!! Ada label kecil diatasnya Rp. 250.000,-............... fikirku melayang dan harapan ku seakan muncul lagi. Kamipun pulang bersama.



***



          Semangatku bertambah ketika aku tau apa yang harus aku lakukan, mentari pagi seakan tersenyum kepadaku dan awan putih memayungi langkahku. Aku bekerja dan sekolah dengan tekun dan menanti-nanti bulan baru kan tiba. Aku selalu menghitung tanggal dan menari-nari bersama kerikil tajam. Hatiku gembira melayang di angkasa, impianku untuk seseorang yang aku sangat cintai. Waktu terus bergulir merubah segalanya, sakit yang di derita Ayu semakin parah. Tubuhnya kejang-kejang, aku selalu memberikan obat penahan sakit untuknya. Andaikan kami bisa membawanya kerumah sakit mungkin Ayu tidak akan tersiksa seperti ini. Air mata ibu terus menetes perlahan, aku selalu ingin menghapus penderitaan keluargaku, tapi apa? aku tak berdaya.

          Hari ini keadaan Ayu sudah membaik, dia terlihat lebih ceria dari biasanya. Hari ini bulan baru aku merasa sangat bahagia, selangkah lagi cita-citaku terkabul. Aku membokar celengan babi diatas lemariku, recehan demi recehan terpelanting keluar dari dalamnya dan aku mengumpulkannya menjadi satu, menghitungnya perlahan. “Kak, hati-hati dijalan ya. Ayu pasti akan sangat merindukan kakak dan Ibu.” Aku mengangguk dan  mencium keningnya.

Aku berangkat sekolah lebih awal kemudian bekerja dan bekerja serta menanti-nanti uang gajiku. Tanpa fikir panjang aku melanjutkannya tanpa pulang kerumah, menghitung uang-uang itu dan berlari dengan riang menuju toko Koko Ah Jung, Nci Eli menyambutku dengan senang dan ternyata lampu lilin kucing itu telah menanti kehadiranku. Dengan gembira aku membawanya pulang, Nci Eli memberiku potongan harga sebesar 50% kepadaku, uang itu aku belikan susu untuk Ayu dan nasi padang untuk Ibu. Langkah  ku menari-nari bahagia, meloncat ke kanan dan ke kiri. Aku melaju bagaikan turbo. Dan.............

          Ribuan air mata berjatuhan disekelilingku, raut wajah cemas duka dan amarah ada disini. Langkahku perlahan berhenti, dan aku yakin aku sedang bermimpi, aku sedang dalam khayalan yang fana. Terdengar tangis Ibu dari kejauhan, aku semakin tak percaya melihat mereka yang datang dengan wajah duka. Bruk..........



Bendera kuning itu mengantarkan adikku Ayu ke tempat peristirahatan terakhirnya, mengantarkannya kedalam surga dan bertemu dengan Ayah. Alunan doa terus mengiringi perjalanannya. Aku lihat ibu yang berada disampingku, memelukku, tersenyum dan berkata “semua akan baik-baik saja. Ayu bahagia bersama Ayah disurga..”



Aku memeluk Ibu dan melihat dari belakang, Ayu disana bersama para bidadari memandangku sambil melambaikan tangan. Wajahnya cantik seperti Ayu yang ku kenal dia tersenyum dan kemudian menghilang. Lilin terakhir untuk adik adalah kebanggaan untukku, aku selalu menyimpannya di kamar dan berharap lampu lilin ini dapat membuat mimpiku jauh lebih indah. Ayu, kami menyangimu selalu.


Komentar

Postingan Populer